Minggu, 17 Januari 2016

Dimensi-dimensi Multiple Intelligences


Multiple intelligence adalah teori kecerdasan majemuk yang dipaparkan Dr. Howard Gardner. Multiple intelligence atau kecerdasan majemuk pada dasarnya adalah sebuah konsep yang menunjukkan kepada kita bahwa potensi seseorang, khususnya jika dikaitkan dengan kecerdasan, ternyata banyak sekali. Memahami multiple intelligence bukanlah untuk membuat seseorang menjadi hebat. Namun, konsep tersebut paling tidak dapat  membantu untuk memahami bahwa seseorang itu menyimpan potensi yang berbeda dari yang lain.
Pada awalnya Dr. Gardner merumuskan tujuh inteligensi kolektif yang bersifat sementara. Dalam perkembangan penelitian selanjutnya, beliau menambahkan satu inteligensi lagi sehingga ada delapan jenis inteligensi yang secara bersama terdapat dalam diri anak-anak dan orang dewasa, yaitu:
1.      Linguistic Intelligence (Kecerdasan Linguistik)
Kecerdasan linguistik adalah kapasitas menggunakan bahasa untuk menyampaikan pikiran dan memahami perkataan orang lain, baik secara lisan maupun tertulis. Hal yang akan berkembang dari pemilik kecerdasan linguistik yaitu kapasitas mengelola kata dan bahasa dengan aktifitas utama menulis, membaca, berbicara, dan mendengarkan.
2.      Logical-mathematic Intelligence (Kecerdasan Logika-matematika)
Kecerdasan logika-matematika adalah kapasitas untuk menggunakan angka, berpikir logis untuk menganalisa kasus atau permasalahan dan melakukan perhitungan matematis. Hal yang akan berkembang dari pemilik kecerdasan logika-matematika yaitu kapasitas mengelola logika dan angka, dengan aktifitas utama berpikir logis, berhitung, menyusun pola hubungan dan pemecahan masalah.
3.      Visual-spatial Intelligence (Kecerdasan Visual-spasial)
Kecerdasan visual-spasial adalah kapasitas untuk mengenali dan melakukan penggambaran atas objek atau pola yang diterima otak. Hal yang akan berkembang dari pemilik kecerdasan visual-spasial yaitu kapasitas mengelola bentuk, dan ruang tiga dimensi dengan aktifitas utama mengenali bentuk, warna, dan ruang serta menciptakan gambar serta mental maupun realistis.
4.      Bodily-kinesthetic Intelligence (Kecerdasan Kinestetik-tubuh)
Kecerdasan kinestetik tubuh adalah kapasitas untuk melakukan koordinasi pergerakan seluruh anggota tubuh. Hal yang akan berkembang dari pemilik kecerdasan kinestetik-tubuh yaitu kapasitas mengelola gerakan tubuh dan pengalaman fisik/sentuhan dengan aktifitas utama mengkoordinasikan gerakan tubuh untuk mengekspresikan ide, perasaan, dan membentuk sesuatu.
5.      Musical Intelligence (Kecerdasan Musikal)
Kecerdasan musikal adalah kapasitas untuk mengenal suara dan menyusun komposisi irama dan nada. Hal yang akan berkembang dari pemilik kecerdasan musikal yaitu kapasitas mengelola suara dan irama musik dengan aktifitas utama mengenali suara dan menciptakan irama musik dan lagu.
6.      Interpersonal Intelligence (Kecerdasan Interpersonal)
Kecerdasan Interpersonal adalah kapasitas untuk memahami maksud, motivasi, dan keinginan orang lain. Hal yang akan berkembang dari pemilik kecerdasan interpersonal yaitu kapasitas mengelola hubungan dengan orang lain dengan aktifitas utama berkomunikasi, bekerja sama, dan menjalin relasi sosial dengan orang lain.
7.      Intrapersonal Intelligence (Kecerdasan Intrapersonal)
Kecerdasan Inttrapersonal adalah kapasitas untuk memahami dan menilai motivasi dan perasaan diri sendiri. Hal yang akan berkembang dari pemilik kecerdasan intrapersonal yaitu kapasitas mengelola hubungan dengan diri sendiri dengan aktifitas utama melakukan refleksi diri dan mengembangkan diri sendiri.
8.      Naturalist Intelligence (Kecerdasan Naturalis)
Kecerdasan Naturalis adalah kapasitas untuk mengenali dan mengelompokkan fitur tertentu di lingkungan fisik sekitarnya, seperti binatang, tumbuhan dan kondisi cuaca. Hal yang akan berkembang dari pemilik kecerdasan naturalis yaitu kapasitas mengelola alam dan lingkungan sekitar dengan aktifitas utama memelihara dan berinteraksi dengan alam sekitar.

Rabu, 06 Januari 2016

Sejarah dan Asal Usul Grebeg Besar di Kabupaten Demak


1.    Sejarah Grebeg Besar
Kata bahasa Jawa Garebeg, Grebeg, Gerbeg, bermakna : suara angin yang menderu. Kata bahasa Jawa (h) anggarebeg, mengandung makna mengiring raja, pembesar atau pengantin.Grebeg bisa juga diartikan digiring, dikumpulkan, dan dikepung.Jadi grebeg bisa berarti dikumpulkan dalam suatutempat untuk kepentingan khusus. Adapun Grebeg Besar seremonial yang terkenal di Demak, kata “Besar” adalah mengambil nama bulan yaitu bulan Besar (Dzulhijah). Maka makna Grebeg Besar adalah kumpulnya masyarakat Islam pada bulan Besar, sekali dalam setahun yaitu untuk suatu kepentingan da’wah Islamiyah di Masjid agung Demak.
Cerita tutur mewartakan bahwa dahulu kala para raja Jawa selalu menyelenggarakan selamatan kerajaan (bahasa Jawa = wilujengan nagari) setiap tahun baru dan disebut Rojowedo, artinya kitab suci raja atau kebajikan raja. Disebut pula, ada yang mengatakan Rojomedo, artinya hewan korban kerajaan. Tujuan selamatan kerajaan yang hakikatnya adalah suatu cara korban agar Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan perlindungan, keselamatan kepada raja dan kerajaan serta rakyatnya.
Dalam peristiwa itu, rakyat datang menghadap raja untuk menyampaikan sembah baktinya. Raja keluar dari keratin lalu duduk di singgasana keemasan (bahasa jawa=dhampar kencono) di bangsal Ponconiti. Penampilan raja untuk menerima sembah bakti rakyat yang datang mengahadap (bahasa jawa=sowan), diiringi (bahasa jawa=ginarebeg) oleh para putra dan segenap punggawa Keraton.
Tak lama setelah Raden Fatah dinobatkan menjadi Sultan pertama kasultanan Demak dengan gelar Kanjeng Sultan Raden Abdul Fattah Al Akbar Sayyidin Panatagama, baginda langsung menghapuskan adat menyelenggarakan upacara kurban yang selalu dilakukan oleh para raja Jawa-Hindu terdahulu.Sebab adat yang seperti itu, dinilai bertentangan dengan aqidah Islam.
Penghapusan adat itu menimbulkan keresahan sebagian kalangan rakyat, sebab rakyat yang selama berabad-abad turun-temurun sudah terbiasa hidup dengan adat dari kepercayaan lama, belum dapat menerima sikap rajanya yang baru itu.Keresahan tersebut menimbulkan gangguan keamanan Negara, sebab khawatir timbul wabah penyakit menular.
Atas saran para wali, adat kepercayaan lama itu agar dihidupkan kembali, namun diberi warna keislaman yaitu hewan kurban disembelih menurut aturan agama Islam. Awal dan akhir doa selamatan berupa do’a Islam yang dipanjatkan oleh Sunan Giri dan Sunan Bonang. Para wali giat berda’wah, penyebaran agama Islam awalnya tidak banyak mengalami kemajuan.Hal ini bisa dilihat dengan masih sedikitnya jumlah santri.Sebagian besar rakyat terutama masyarakat pedesaan enggan untuk mengucapkan syahadat sebgai pernytaan memeluk agama Islam.
Akhirnya para wali bermusyawarah, dan mereka sependapat untuk menginsyafkan rakyat akan kebenaran ajaran agama Islam, haruslah dilakukan secara bertahap, dengan penuh kearifan, bersikap sopan santun, ramah tamah dalam berda’wah dan tanpa mencela adat serta unsur-unsur kebudayaan rakyat bahkan seharusnya memanfaatkan unsur-unsur kebudayaan rakyat sebagai sarana da’wah, terutama dengan, dengan memanfaatkan bahasa, adat-istiadat dan kesenian rakyat. Para wali menemukan taktik da’wah “TUT WURI ANGISENI” Artinya memakai dan menghormati kebudayaan yang ada, untuk memudahkan syiar agama Islam.Istilah lainnya, JOWO DIGOWO, ARAB DIGARAP.
Sunan Kalijaga mengetahui bahwa pada waktu itu rakyat menyukai perayaan dan keramaian yang dihubungkan dengan upacara keagamaan. Apalagi jika perayaan dan keramaian  ada juga irama gamelannya, tentu saja akan sangat menarik perhatian rakyat untuk datang melihatnya. Akhirnya timbullah gagasan Sunan Kalijaga supaya kerajaan menyelenggarakan perayaaan dan keramaian setiap menyongsong hari kelahiran Nabi Muhammad SAW pada bulan Rabiul Awal.Untuk menarik perhatian rakyat agar mau datang ke Masjid Besar, maka dibunyikanlah gamelan yang ditempatkan di halaman masjid.Setelah berkumpul maka para wali dapat berda’wah langsung dihadapan rakyat.
Meski membunyikan gamelan di lingkungan masjid itu ada yang menghukumi makruh, namun dengan menggunakan azas manfaat dan hikmah demi kelancaran syiar Islam, maka Sunan Kalijaga dari ijtidahnya, berani menghukumi mubah/boleh dikerjakan. Pendapat Sunan Kalijaga itu dapat diterima majelis Walisongo. Sultan Fatah pun akhirnya menyetujui pelaksanaan gagasan Sunan Kalijaga.
Maka dalam bulan Rabiul Awal, 12 (dua belas) hari sebelum kelahiran Nabi, diselenggarakan perayaan dan keramaian yang disebut Sekaten.Di halaman Masjid Besar didirikan tempat khusus untuk menaruh dan membunyikan gamelan yang disebut pagongan.Pagongan adalah tempat gong (gamelan) yang dibuat oleh Sunan Giri.Konon sebagian dari gendhing-gendhing (lagu) gamelan diciptakan oleh Sunan Giri dan sebagian lagi oleh Sunan Kalijaga.Selama 12 hari (dua belas) hari gamelan diperdengarkan terus menerus, kecuali pada waktu-waktu sholat dan pada malam jum’at sampai lewat sholat Jum’at.
Bentuk keramaian yang dikenal dengan nama GREBEG BESAR adalah murni hasil ciptaan para wali. Pelaksanaannya dimulai setelah walisongo mengadakan sidang di serambi Masjid Agung Ampel Dento Surabaya, keputusannya sebagai berikut :
“NGENANI ANANE SOMAWONO KIPRAH MEKARE TSAQOFAH HINDU ING NUSA SALALADANE, JUWAJIBAN PORO WALI AREP ALAKU TUT WURI ANGISENI. DARAPUN SUPOYO SANAK-SANAK HINDU MALAH LEGO-LEGOWO MANJING ISLAM.”
Artinya : Dengan adanya perkembangan ajaran Hindu di pulau wilayah ini, tugas para wali dakwah menyesuaikan adat istiadat setempat sambil mengisi nafas Islam, agar supaya masyarakat Hindu hatinya rela dan tulus ikhlas masuk Islam.
Keputusan sidang ditulis Sunan Bonang dengan Huruf Arab Gondil, bentuknya notulen singkat.Pada tahun 1938 M, masih tersimpan di dalam mushola Astana Tuban dirawat oleh juru kunci yang bernama Raden Panji Soleh.
Sejak itu, Sunan Kaljaga mulai bertindak sebagai pelopor pembaharuan (Reformis) dalam menyiarkan agama Islam.Untuk mengimbangi kepentingan masyarakat, beliau ciptakan jenis kesenian baru yang disebut Wayang Purwo (wayang kulit).Semua jenis kesenian rakyat yang hampir mati karena Majapahit runtuh, dibangkitkan supaya hidup kembali.Tujuannya untuk mencari simpati masyarakat dan jangan sampai terjadi shock culture pada orang-orang yang sudah kuat religinya dengan agama tertentu.Hal itu dibenarkan juga oleh Dr. W.F Stutterheim dalam tulisannya “Culture Geschidenis Van Indonesia”.
Pada zaman kejayaan Majapahit pada masa pemerintahan Prabu Kertabhumi Brawijaya V, pernah mengadakan upacara Sradha dibuat spektakuler. Sebab upacara tersebut dibunyikan gamelan Prabu Kertabhumi Brawijaya V yang bernama Kanjeng Kyai Sekar Delima.Dulu dibuat oleh Raden Panji Inu Kerta Pati (Panji Semirang) dari kerajaan Jenggala secara turun temurun menjadi milikr raja-raja Majapahit.
Setelah Majapahit runtuh, semua benda pusaka milik Prabu Kertabhumi Brawijaya V diboyong ke Demak. Termasuk gamelan Kanjeng Kyai Sekar Delima yang terdiri dari : “ Bonang Sapangkon, Demung dua pangkon, Kempyang Sepangkon, Saron Barung dua pangkon, Saron Penerus dua pangkon, bedhug satu buah, dan Gong Besar Sakti”.
Apabila gamelan itu ditabuk/dibunyikan, Bonang menggambarkan sorang imam yang berdo’a, sedangkan Demung, Kempyang, Saron, dan lain-lainnya menggambarkan makmum yang sedang meng-amin-I (membaca Amin).
Supaya da’wahnya para wali di dalam menyiarkan Islam dapat menarik perhatian umum, gamelan Kanjeng Kyai Sekar Delima dimanfaatkan.Tetapi sudah dilengkapi dengan seperangkat gamelan baru yang dibuat oleh Sunan Kalijaga.Lalu gamelan dibagi menjadi dua perangkat, yang seperangkat dinamakan Kajeng Kyai Sekati dan seperangkatnya lagi dinamakan Kanjeng Nyai Sekati.Menurut wasiat Sunan Kalijaga, bahwa sampai kapanpun keberadaan gamelan tersebut harus sejodho (sepasang). Oleh karena itu, Keraton Kasunanan Surakarta yang hanya menerima pembagian gamelan Kanjeng Kyai Sekati, lalu membuatkan pasangan baru (duplikat gamelan Kanjeng Kyai Sekati) dan diberi nama “Guntur Madu” yang biasanya terletak di serambi masjid bagian selatan dan “Guntur Sari” yang ada di bagian utara.
Begitu pula, untuk Keraton Kasultanan Yogyakarta, oleh karena hanya menerima gamelan Kanjeng Nyai Sekati, lalu membuatkan pasangannya (duplikat Kanjeng Kyai Sekati), namanya Guntur Madu dan Nogo Wilogo. Untuk Kasultanan Cirebon yang tidak mendapatkan gamelan Kyai Sekati kemudian dibuatkan oleh Sunan Kalijaga yang kebetulan masih ada ikatan keluarga dengan Sunan Gunung Jati di Cirebon.
2.    Kotang Onto Kusumo
Menurut penuturan juru kunci makam Sunan Kalijaga setelah Masjid Agung Demak selesai dibangun oleh para wali, saat itu masjid pertama kali digunakan untuk berjamaah sholat shubuh.Seperti biasa setelah sholat para wali selalu melanjutkan dengan berdzikir.Pada saat selesai berdzikir, tanpa diduga para wali, terlihatlah sebuah bungkusan yang menggantung di atas Mihrob (pengimaman).Sunan Bonang yang melihat bungkusan tersebut segera mencongkel dengan tongkatnya. Setelah dilihat, bungkusan tersebut dari kulit kambing, ketika dibuka bungkusan itu berisi surat dan Kotang Ontokusumo.Dimana surat itu menyatakan,
Telah dijelaskan dimukai bahwa dalam ritual penjamasan ageman Sunan Kalijaga tidak boleh dilihat orang, sekalipun ahli waris kanjeng sunan sendiri. Seandainya ada yang melanggar akan mendapat bencana. Pantangan ini tetap dipatuhi secara turun‑temurun dan tidak ada yang melanggar. Demikian itu dikhawatirkan kalau nanti akan mengkultuskan suatu benda yang mendorong kearah perbuatan syirik (menyekutukanTuhan).
3.    Keris Kyai Carubuk
Keris Kyai Carubuk, Senjata Pusaka Kanjeng Sunan Kalijaga. Terkait keris pusaka dan sakti di Indonesia, dalam khanazah sejarah dan budaya nusantara, kebanyakan keris sakti berasal dari pulau Jawa, terutama di era kejayaan Kerajaan Majapahit. Banyak cerita, kisah dan juga mitos seputar keris. Konon, keris yang memiliki kesaktian tidak sembarangan bisa dimiliki, harus memiliki kecocokan atau berjodoh dengan yang memegangnya. Banyak yang meyakini juga keris yang sakti bisa berdiri sendiri jika diminta oleh pemegangnya, dan banyak lagi cerita lainnya tentang kesaktian keris ini. Kali ini, infomistik akan membawa ke wilayah kajian keris pada konteks sejarah. Terkait sejarah ini, ada bebeberapa keris yang terkenal dan paling populer di Indonesia, salah satunya adalah Keris Kyai Carubuk, Senjata Pusaka Kanjeng Sunan Kalijaga.
Keris Kyai Carubuk ini adalah mahakarya ketiga dari Mpu Supa Madrangi selain Keris Kyai Sangkelat dan Keris Kyai Nagasasra.Keris ini juga merupakan peninggalan Mahapahit. Dalam satu legenda dikisahkan, Kanjeng Sunan Kalijaga meminta tolong kepada Mpu Supa Mandragi untuk dibuatkan sebuah keris coten-sembelih (untuk menyembelih kambing). Sunan Kaljaga memberikan besi yang ukurannya sebesar biji asam jawa sebagai bahan pembuatan keris kepada Mpu Supa Mandrangi. Mengetahui besarnya calon besi tersebut, Empu Supa sedikit terkejut. Namun setelah Mpu Supa menerima besi tersebut dari Kanjeng Sunan Kalijaga, Ia berkata “besi ini bobotnya berat sekali, tak seimbang dengan besar wujudnya dan tidak yakin apakah cukup untuk dibuat keris”. Lalu Sunan Kalijaga berkata “besi itu tidak hanya sebesar biji asam jawa tetapi besarnya seperti gunung”. Karena ampuhnya perkataan Kanjeng Sunan Kalijaga, pada waktu itu juga besi yang sebesar biji asam jawa tersebut menjelma menjadi sebesar gunung.Hati Empu Supa menjadi gugup, karena mengetahui bahwa Kanjeng Sunan Kalijaga memang benar-benar wali yang dikasihi oleh Sang Pencipta Kehidupan, yang bebas mencipta apapun.Lantaran itu, Empu Supa berlutut dan takut.
Ringkas cerita, besipun kemudian dikerjakan oleh Empu Supa Mandrangi. Tidak lama kemudian,jadilah sebilah keris, kemudian Empu Supa Mandrangi menyerahkan keris tersebut kepada Kanjeng Sunan Kalijaga. Begitu melihat bentuk kerisnya, Kanjeng Sunan Kalijaga menjadi kaget karena hasil kejadian keris itu berbeda jauh sekali dengan yang dimaksudkan. Semula ia bermaksud meminta dibuatkan keris untuk menyembelih kambing, ternyata yang dihasilkan adalah keris Jawa asli Majapahit, luk tujuhbelas. Begitu mengetahui keindahan keris, perasaan Kanjeng Sunan Kalijaga tersentuh, oleh karena itu  Kanjeng Sunan Kalijaga mengamatinya sampai puas tidak bosan-bosannya. Kemudian ia berkata sambil tertawa dan memuji keindahan keris itu.
Kemudian Kanjeng Sunan Kaljaga memberikan besi sebesar biji kemiri kepada Empu Supa Mandrangi dan meminta Empu Supa Mandrangi untuk membuatkannya sebilah keris lagi. Lalu Empu Supa mengerjakannya, dan setelah dikerjakan, jadilah sebilah keris mirip pedang suduk (seperti golok atau belati). Kemudian Empu Supa Mandrangi menyerahkan keris tersebut kepada Kanjeng Sunan Kaljaga. Begitu mengetahui wujud keris yang dihasilkan, Kanjeng Sunan Kalijaga sangat senang hatinya dan menamai keris tersebut dengan nama “Keris Kyai Carubuk”.
a.    Dinamika pelaksanaan Grebeg Besar
Menurut keterangan Sesepuh Kadilangu, bahwa penjamasan ageman Sunan Kalijaga berdasarkan wasiat.Supaya tidak rusak, ageman itu harus di jamas satu tahun sekali. Maksudnya untuk merawat, tidak untuk kepentingan lain. Isi wasiat Suanan Kalijaga sebagaimana dibawah ini:
”AGEMANKU MBESUK YEN AKU WIS DI KEPARENGAKE SOWAN INGKANG KUWAOS, SELEHNA NING DUWUR PETURONANKU. KEJOBO KUWI, SAWISW AKU KUKUT AGEMANKU JAMASANA”
Setelah Sunan Kalijaga wafat pada tahun 1584 M, Grebeg Besar tidak hanya di laksanakan di Masjid Agung Demak, tetapi di adakan pula di makam Sunana Kalijaga (Kadilangu), acaranya khusus yaitu penjamasan Kotang Onto Kusumo dan Keris Kyai Carubuk.
Upacara ini  dilaksanakan setiap tanggal 10 Dzulhijjah kurang lebih jam 09.00 WIB setelah umat Islam melaksanakan Sholat Ied dan menyembelih hewan kurban. Pelaksanaan ditangani langsung oleh ahli waris Sunan Kalijaga dengan menggunakan persyaratan sebagai berikut:
1.    Ratus (dupa yg berbau harum).
2.    Minyak cendana.
3.    Minyak kenanga.
4.    Minyak tua (minyak klenthik) yang terbuat dari santan kelapa hijau yang melengkung ke arah timur, yang pengambilannya tidak boleh dijatuhkan ke tanah, dan proses pembuatannya satu bulan sebelum upacara penjamasan yang di buat oleh wanita keturunan Sunan Kalijaga yang sudah menopause (tidak haid) di pendhopo agung.
Tim penjamas yang akan melaksanakan penjamasan  merupakan keturunan laki-laki dari Sunan Kalijaga yang memiliki tugas masing-masing berjumlah 7 orang, sebelum melaksanakan penjamasan di syaratkan untuk puassa selama 3 hari mulai tanggal 8, 9, 10 Dzulhijjah. Sebelum melaksanakan penjamasan di adakan tahlik dan do’a di makam Sunan Kalijaga, karena saat penjamasan berlangsung mata penjamas tidak boleh melihat Kotang Onto Kusomo dan Keris Kyai Carubuk jadi mata penjamas tertutup sampai selesai penjamasan. Termasuk yang membawa minyak jamas dari pendhopo Kabupaten Demak merupakan keturunan laki-laki dari Sunana Kalijaga.
Acara Grebeg Besar Demak mempunyai urutan tata cara perayaan sebagai berikut :
1.    1. Upacara pembukaan Grebeg Besar, di laksanakan di halaman Masjid Agung Demak yang secara resmi dibuka oleh Bupati pada tanggal 7 Besar (Dzulhijjah).
2.    Pada tanggal 8 sampai dengan 9 Besar (Dzulhijjah) kegiatan Tabligh Akbar dan ziarah ke makam Sultan Syah Alam Akbar (Raden Patah) dan Sunana Kalijaga.
3.    Malam tanggal 10 Dzulhijjah, takbiran dan sekaligus melaksanakan upacara “Selamatan Tumpeng Songo” (Sembilan) dilanjutkan tahtiman Al-Qur’an Sembilan kali. Tumpeng songo (Sembilan) yang semula berada di pendhopo Kabupaten Demak, diiring menuju Masjid Agung Demak di kawal prajurit Patang Puluhan serta dimeriahkan Seni Rebana.
4.    Pada tanggal 10 Dzulhijjah, jam 06.30 dilaksanakan sholat Ied Adha di Masjid Agung Demak dan dilanjutkan pemotongan hewan kurban.
5.    Upacara paemberangkatan minyak jamas yang dilaksanakan pada jam 08.00 pagi di pendhopo Kabupaten Demak. Kemudian diantarkan ke Kadilangu oleh Penguasa Demak atau Bupati yang kala itu mengenakan pakaian kebesaran Sultan (Sultan Bintoro) pada waktu naik diatas kereeta dikawal oleh prajurit Patang Puluhan (ciri khas prajurit Kasultanan Bintoro).
6.    Upacara penjamasan Kotang Onto Kusumo dan Keris Kyai Curubuk di Makam Sunan Kalijaga di kadilangu jam 09.00 sampai selesai.
b.    Nilai-nilai yang terkandung dalam Grebeg Besar
Nilai-nilai yang terkandung dalam Grebeg Besar antara lain adalah religi atau ibadah. Grebeg Besar meemiliki nilai religi, sebab dalam Grebeg Besar merupakansuatu kagiatan keagamaan yang memiliki ajaran kepercayaan, norma-norma, aturan-aturan untuk melakukan upacara.Masyarakat percaya bahwa ajaran-ajaran yang disampaikan oleh para Wali dari Nabi Muhammad SAW adalah benar.Masyarakat Islam dengan sepenuh hati menjalankan ibadah dan mengamalkan ajaran Islam dengan sepenuh hati.
Nilai kegotong-royongan terlihat pada persiapan acara pengajian serta tumpeng Sembilan disiapkan oleh takmir masjid.Grebeg Besar merupakan acara ritual yang penuh dengan aktivitas yang mengandung nilai-nilai solidaritas.Dalam berbagai atraksi maupun pertunjukan yang mewarnai acara tersebut diperlukan rasa kesetiakawanan.Sifat-sifat kesetiakawanan tersebut merupakan sifat yang penting dan berguna dalam kehidupan manusia.Masyarakat berbaur menjadi satu saling mengenal sehingga menambah terjalinnya rasa solidaritas antar sesama masyarakat.
Terkait dengan pelaksanaan Grebeg Besar dapat dilihat dari partisipasi semua pihak yang ikutmendukung acara tersebut.Nilai kepemimpinan juga terkandung dalam acara Grebeg Besar yang terungkap melalui kegiatan yang dipimpin oleh Bupati.Acara tersebut terselenggara dengan baik serta himbauan dan wejangan kepada warga masyarakat merupakan suatu bentuk pencerahan masyarakat agar dapat menjalani kehidupan kemasyarakatan dengan tentram dan damai.Nilai tanggungjawab melibatkan pelaku ritual beserta semua warga masyarakat yang mengikuti acara Grebeg Besar.
Nilai etika yang lain juga terlihat pada acara ritual di Pendhopo sewaktu lurah Tamtamamengahadap Bupati untuk menerima perintah mengantar minyak Jamas. Lurah Tamtama mengahadap Bupati dengan berjalan jongkok.Berjalan jongkok serta menghaturkan sembah, tindakan tersebut menunjukkan rasa hormat seorang abdi dalem kepada rajanya. Nilai etika selanjutnya terungkap dari cara berbicara pranata cara atau pemandu acara dalam ritual tersebut menggunakan bahasa Jawa. Para undangan yang datang saling berjabat tangan dan saling menyapa.
Nilai estetis terlihat pula dalam rangkaian acara Grebeg Besar.Sarana yang digunakan sebagaipendukung upacara seperti tumpeng yang berjumlah sembilan buah, sholawatan yang dilantunkan pada saat slametan tumpeng Songo.Iringan gamelan yang dipertunjukan di Pendhopo, tarian Bedaya yang ditarikan oleh sembilan penari.Grebeg Besar mempunyai nilai estetis dikarenakan dalam acara tersebut begitu banyak pertunjukan yang ditampilkan serta sarana yang digunakan.Pertunjukkan yang ditampilkan sangat menarik perhatian masyarakat yang menyaksikannya.