1. Sejarah
Grebeg Besar
Kata bahasa
Jawa Garebeg, Grebeg, Gerbeg, bermakna : suara angin yang menderu. Kata bahasa
Jawa (h) anggarebeg, mengandung makna mengiring raja, pembesar atau
pengantin.Grebeg bisa juga diartikan digiring, dikumpulkan, dan dikepung.Jadi
grebeg bisa berarti dikumpulkan dalam suatutempat untuk kepentingan khusus.
Adapun Grebeg Besar seremonial yang terkenal di Demak, kata “Besar” adalah
mengambil nama bulan yaitu bulan Besar (Dzulhijah). Maka makna Grebeg Besar
adalah kumpulnya masyarakat Islam pada bulan Besar, sekali dalam setahun yaitu
untuk suatu kepentingan da’wah Islamiyah di Masjid agung Demak.
Cerita tutur
mewartakan bahwa dahulu kala para raja Jawa selalu menyelenggarakan selamatan
kerajaan (bahasa Jawa = wilujengan nagari) setiap tahun baru dan disebut
Rojowedo, artinya kitab suci raja atau kebajikan raja. Disebut pula, ada yang
mengatakan Rojomedo, artinya hewan korban kerajaan. Tujuan selamatan kerajaan
yang hakikatnya adalah suatu cara korban agar Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan
perlindungan, keselamatan kepada raja dan kerajaan serta rakyatnya.
Dalam peristiwa
itu, rakyat datang menghadap raja untuk menyampaikan sembah baktinya. Raja
keluar dari keratin lalu duduk di singgasana keemasan (bahasa jawa=dhampar
kencono) di bangsal Ponconiti. Penampilan raja untuk menerima sembah bakti
rakyat yang datang mengahadap (bahasa jawa=sowan), diiringi (bahasa
jawa=ginarebeg) oleh para putra dan segenap punggawa Keraton.
Tak lama setelah
Raden Fatah dinobatkan menjadi Sultan pertama kasultanan Demak dengan gelar
Kanjeng Sultan Raden Abdul Fattah Al Akbar Sayyidin Panatagama, baginda
langsung menghapuskan adat menyelenggarakan upacara kurban yang selalu
dilakukan oleh para raja Jawa-Hindu terdahulu.Sebab adat yang seperti itu,
dinilai bertentangan dengan aqidah Islam.
Penghapusan
adat itu menimbulkan keresahan sebagian kalangan rakyat, sebab rakyat yang
selama berabad-abad turun-temurun sudah terbiasa hidup dengan adat dari
kepercayaan lama, belum dapat menerima sikap rajanya yang baru itu.Keresahan
tersebut menimbulkan gangguan keamanan Negara, sebab khawatir timbul wabah
penyakit menular.
Atas saran para
wali, adat kepercayaan lama itu agar dihidupkan kembali, namun diberi warna
keislaman yaitu hewan kurban disembelih menurut aturan agama Islam. Awal dan
akhir doa selamatan berupa do’a Islam yang dipanjatkan oleh Sunan Giri dan
Sunan Bonang. Para wali giat berda’wah, penyebaran agama Islam awalnya tidak
banyak mengalami kemajuan.Hal ini bisa dilihat dengan masih sedikitnya jumlah
santri.Sebagian besar rakyat terutama masyarakat pedesaan enggan untuk
mengucapkan syahadat sebgai pernytaan memeluk agama Islam.
Akhirnya para
wali bermusyawarah, dan mereka sependapat untuk menginsyafkan rakyat akan
kebenaran ajaran agama Islam, haruslah dilakukan secara bertahap, dengan penuh
kearifan, bersikap sopan santun, ramah tamah dalam berda’wah dan tanpa mencela
adat serta unsur-unsur kebudayaan rakyat bahkan seharusnya memanfaatkan
unsur-unsur kebudayaan rakyat sebagai sarana da’wah, terutama dengan, dengan
memanfaatkan bahasa, adat-istiadat dan kesenian rakyat. Para wali menemukan
taktik da’wah “TUT WURI ANGISENI” Artinya memakai dan menghormati kebudayaan
yang ada, untuk memudahkan syiar agama Islam.Istilah lainnya, JOWO DIGOWO,
ARAB DIGARAP.
Sunan Kalijaga
mengetahui bahwa pada waktu itu rakyat menyukai perayaan dan keramaian yang
dihubungkan dengan upacara keagamaan. Apalagi jika perayaan dan keramaian
ada juga irama gamelannya, tentu saja akan sangat menarik perhatian rakyat
untuk datang melihatnya. Akhirnya timbullah gagasan Sunan Kalijaga supaya
kerajaan menyelenggarakan perayaaan dan keramaian setiap menyongsong hari
kelahiran Nabi Muhammad SAW pada bulan Rabiul Awal.Untuk menarik perhatian
rakyat agar mau datang ke Masjid Besar, maka dibunyikanlah gamelan yang
ditempatkan di halaman masjid.Setelah berkumpul maka para wali dapat berda’wah
langsung dihadapan rakyat.
Meski
membunyikan gamelan di lingkungan masjid itu ada yang menghukumi makruh, namun dengan
menggunakan azas manfaat dan hikmah demi kelancaran syiar Islam, maka Sunan
Kalijaga dari ijtidahnya, berani menghukumi mubah/boleh dikerjakan. Pendapat
Sunan Kalijaga itu dapat diterima majelis Walisongo. Sultan Fatah pun akhirnya
menyetujui pelaksanaan gagasan Sunan Kalijaga.
Maka dalam
bulan Rabiul Awal, 12 (dua belas) hari sebelum kelahiran Nabi, diselenggarakan
perayaan dan keramaian yang disebut Sekaten.Di halaman Masjid Besar didirikan
tempat khusus untuk menaruh dan membunyikan gamelan yang disebut
pagongan.Pagongan adalah tempat gong (gamelan) yang dibuat oleh Sunan
Giri.Konon sebagian dari gendhing-gendhing (lagu) gamelan diciptakan oleh Sunan
Giri dan sebagian lagi oleh Sunan Kalijaga.Selama 12 hari (dua belas) hari
gamelan diperdengarkan terus menerus, kecuali pada waktu-waktu sholat dan pada
malam jum’at sampai lewat sholat Jum’at.
Bentuk
keramaian yang dikenal dengan nama GREBEG BESAR adalah murni hasil ciptaan para
wali. Pelaksanaannya dimulai setelah walisongo mengadakan sidang di serambi
Masjid Agung Ampel Dento Surabaya, keputusannya sebagai berikut :
“NGENANI ANANE
SOMAWONO KIPRAH MEKARE TSAQOFAH HINDU ING NUSA SALALADANE, JUWAJIBAN PORO WALI
AREP ALAKU TUT WURI ANGISENI. DARAPUN SUPOYO SANAK-SANAK HINDU MALAH
LEGO-LEGOWO MANJING ISLAM.”
Artinya :
Dengan adanya perkembangan ajaran Hindu di pulau wilayah ini, tugas para wali
dakwah menyesuaikan adat istiadat setempat sambil mengisi nafas Islam, agar
supaya masyarakat Hindu hatinya rela dan tulus ikhlas masuk Islam.
Keputusan
sidang ditulis Sunan Bonang dengan Huruf Arab Gondil, bentuknya notulen
singkat.Pada tahun 1938 M, masih tersimpan di dalam mushola Astana Tuban
dirawat oleh juru kunci yang bernama Raden Panji Soleh.
Sejak itu,
Sunan Kaljaga mulai bertindak sebagai pelopor pembaharuan (Reformis) dalam
menyiarkan agama Islam.Untuk mengimbangi kepentingan masyarakat, beliau
ciptakan jenis kesenian baru yang disebut Wayang Purwo (wayang kulit).Semua
jenis kesenian rakyat yang hampir mati karena Majapahit runtuh, dibangkitkan
supaya hidup kembali.Tujuannya untuk mencari simpati masyarakat dan jangan
sampai terjadi shock culture pada orang-orang yang sudah kuat religinya dengan
agama tertentu.Hal itu dibenarkan juga oleh Dr. W.F Stutterheim dalam
tulisannya “Culture Geschidenis Van Indonesia”.
Pada zaman
kejayaan Majapahit pada masa pemerintahan Prabu Kertabhumi Brawijaya V, pernah
mengadakan upacara Sradha dibuat spektakuler. Sebab upacara tersebut dibunyikan
gamelan Prabu Kertabhumi Brawijaya V yang bernama Kanjeng Kyai Sekar Delima.Dulu dibuat oleh Raden Panji Inu Kerta
Pati (Panji Semirang) dari kerajaan Jenggala secara turun temurun menjadi
milikr raja-raja Majapahit.
Setelah
Majapahit runtuh, semua benda pusaka milik Prabu Kertabhumi Brawijaya V
diboyong ke Demak. Termasuk gamelan Kanjeng Kyai Sekar Delima yang terdiri dari
: “ Bonang Sapangkon, Demung dua pangkon, Kempyang Sepangkon, Saron Barung dua
pangkon, Saron Penerus dua pangkon, bedhug satu buah, dan Gong Besar Sakti”.
Apabila gamelan
itu ditabuk/dibunyikan, Bonang menggambarkan sorang imam yang berdo’a,
sedangkan Demung, Kempyang, Saron, dan lain-lainnya menggambarkan makmum yang
sedang meng-amin-I (membaca Amin).
Supaya
da’wahnya para wali di dalam menyiarkan Islam dapat menarik perhatian umum,
gamelan Kanjeng Kyai Sekar Delima dimanfaatkan.Tetapi sudah dilengkapi dengan
seperangkat gamelan baru yang dibuat oleh Sunan Kalijaga.Lalu gamelan dibagi
menjadi dua perangkat, yang seperangkat dinamakan Kajeng Kyai Sekati dan
seperangkatnya lagi dinamakan Kanjeng Nyai Sekati.Menurut wasiat Sunan
Kalijaga, bahwa sampai kapanpun keberadaan gamelan tersebut harus sejodho
(sepasang). Oleh karena itu, Keraton Kasunanan Surakarta yang hanya menerima
pembagian gamelan Kanjeng Kyai Sekati, lalu membuatkan pasangan baru (duplikat
gamelan Kanjeng Kyai Sekati) dan diberi nama “Guntur Madu” yang biasanya
terletak di serambi masjid bagian selatan dan “Guntur Sari” yang ada di bagian
utara.
Begitu pula,
untuk Keraton Kasultanan Yogyakarta, oleh karena hanya menerima gamelan Kanjeng
Nyai Sekati, lalu membuatkan pasangannya (duplikat Kanjeng Kyai Sekati),
namanya Guntur Madu dan Nogo Wilogo. Untuk Kasultanan Cirebon yang tidak
mendapatkan gamelan Kyai Sekati kemudian dibuatkan oleh Sunan Kalijaga yang
kebetulan masih ada ikatan keluarga dengan Sunan Gunung Jati di Cirebon.
2. Kotang Onto Kusumo
Menurut penuturan juru kunci makam Sunan
Kalijaga setelah Masjid Agung Demak selesai dibangun oleh para wali, saat itu
masjid pertama kali digunakan untuk berjamaah sholat shubuh.Seperti biasa
setelah sholat para wali selalu melanjutkan dengan berdzikir.Pada saat selesai
berdzikir, tanpa diduga para wali, terlihatlah sebuah bungkusan yang
menggantung di atas Mihrob (pengimaman).Sunan Bonang yang melihat bungkusan
tersebut segera mencongkel dengan tongkatnya. Setelah dilihat, bungkusan
tersebut dari kulit kambing, ketika dibuka bungkusan itu berisi surat dan
Kotang Ontokusumo.Dimana surat itu menyatakan,
Telah dijelaskan
dimukai bahwa dalam ritual penjamasan ageman Sunan Kalijaga tidak boleh dilihat
orang, sekalipun ahli waris kanjeng sunan sendiri. Seandainya ada yang
melanggar akan mendapat bencana. Pantangan ini tetap dipatuhi secara turun‑temurun
dan tidak ada yang melanggar. Demikian itu dikhawatirkan kalau nanti akan
mengkultuskan suatu benda yang mendorong kearah perbuatan syirik
(menyekutukanTuhan).
3. Keris Kyai Carubuk
Keris Kyai Carubuk, Senjata Pusaka
Kanjeng Sunan Kalijaga. Terkait keris pusaka dan sakti di Indonesia, dalam
khanazah sejarah dan budaya nusantara, kebanyakan keris sakti berasal dari
pulau Jawa, terutama di era kejayaan Kerajaan Majapahit. Banyak cerita, kisah
dan juga mitos seputar keris. Konon, keris yang memiliki kesaktian tidak
sembarangan bisa dimiliki, harus memiliki kecocokan atau berjodoh dengan yang
memegangnya. Banyak yang meyakini juga keris yang sakti bisa berdiri sendiri
jika diminta oleh pemegangnya, dan banyak lagi cerita lainnya tentang kesaktian
keris ini. Kali ini, infomistik akan membawa ke wilayah kajian keris pada
konteks sejarah. Terkait sejarah ini, ada bebeberapa keris yang terkenal dan
paling populer di Indonesia, salah satunya adalah Keris Kyai Carubuk, Senjata Pusaka
Kanjeng Sunan Kalijaga.
Keris Kyai
Carubuk ini adalah mahakarya ketiga dari Mpu Supa Madrangi selain Keris Kyai
Sangkelat dan Keris Kyai Nagasasra.Keris ini juga merupakan peninggalan
Mahapahit. Dalam satu legenda dikisahkan, Kanjeng Sunan Kalijaga meminta tolong
kepada Mpu Supa Mandragi untuk dibuatkan sebuah keris coten-sembelih (untuk
menyembelih kambing). Sunan Kaljaga memberikan besi yang ukurannya sebesar biji
asam jawa sebagai bahan pembuatan keris kepada Mpu Supa Mandrangi. Mengetahui
besarnya calon besi tersebut, Empu Supa sedikit terkejut. Namun setelah Mpu
Supa menerima besi tersebut dari Kanjeng Sunan Kalijaga, Ia berkata “besi ini
bobotnya berat sekali, tak seimbang dengan besar wujudnya dan tidak yakin
apakah cukup untuk dibuat keris”. Lalu Sunan Kalijaga berkata “besi itu tidak
hanya sebesar biji asam jawa tetapi besarnya seperti gunung”. Karena ampuhnya
perkataan Kanjeng Sunan Kalijaga, pada waktu itu juga besi yang sebesar biji
asam jawa tersebut menjelma menjadi sebesar gunung.Hati Empu Supa menjadi
gugup, karena mengetahui bahwa Kanjeng Sunan Kalijaga memang benar-benar wali
yang dikasihi oleh Sang Pencipta Kehidupan, yang bebas mencipta apapun.Lantaran
itu, Empu Supa berlutut dan takut.
Ringkas
cerita, besipun kemudian dikerjakan oleh Empu Supa Mandrangi. Tidak lama kemudian,jadilah
sebilah keris, kemudian Empu Supa Mandrangi menyerahkan keris tersebut kepada
Kanjeng Sunan Kalijaga. Begitu melihat bentuk kerisnya, Kanjeng Sunan Kalijaga
menjadi kaget karena hasil kejadian keris itu berbeda jauh sekali dengan yang
dimaksudkan. Semula ia bermaksud meminta dibuatkan keris untuk menyembelih
kambing, ternyata yang dihasilkan adalah keris Jawa asli Majapahit, luk
tujuhbelas. Begitu mengetahui keindahan keris, perasaan Kanjeng Sunan Kalijaga
tersentuh, oleh karena itu Kanjeng Sunan
Kalijaga mengamatinya sampai puas tidak bosan-bosannya. Kemudian ia berkata
sambil tertawa dan memuji keindahan keris itu.
Kemudian Kanjeng Sunan Kaljaga memberikan besi sebesar biji kemiri
kepada Empu Supa Mandrangi dan meminta Empu Supa Mandrangi untuk membuatkannya
sebilah keris lagi. Lalu Empu Supa mengerjakannya, dan setelah dikerjakan,
jadilah sebilah keris mirip pedang suduk (seperti golok atau belati). Kemudian
Empu Supa Mandrangi menyerahkan keris tersebut kepada Kanjeng Sunan Kaljaga.
Begitu mengetahui wujud keris yang dihasilkan, Kanjeng Sunan Kalijaga sangat
senang hatinya dan menamai keris tersebut dengan nama “Keris Kyai Carubuk”.
a. Dinamika
pelaksanaan Grebeg Besar
Menurut
keterangan Sesepuh Kadilangu, bahwa penjamasan ageman Sunan Kalijaga berdasarkan
wasiat.Supaya tidak rusak, ageman itu harus di jamas satu tahun sekali.
Maksudnya untuk merawat, tidak untuk kepentingan lain. Isi wasiat Suanan
Kalijaga sebagaimana dibawah ini:
”AGEMANKU
MBESUK YEN AKU WIS DI KEPARENGAKE SOWAN INGKANG KUWAOS, SELEHNA NING DUWUR
PETURONANKU. KEJOBO KUWI, SAWISW AKU KUKUT AGEMANKU JAMASANA”
Setelah Sunan
Kalijaga wafat pada tahun 1584 M, Grebeg Besar tidak hanya di laksanakan di
Masjid Agung Demak, tetapi di adakan pula di makam Sunana Kalijaga (Kadilangu),
acaranya khusus yaitu penjamasan Kotang Onto Kusumo dan Keris Kyai Carubuk.
Upacara
ini dilaksanakan setiap tanggal 10
Dzulhijjah kurang lebih jam 09.00 WIB setelah umat Islam melaksanakan Sholat
Ied dan menyembelih hewan kurban. Pelaksanaan ditangani langsung oleh ahli
waris Sunan Kalijaga dengan menggunakan persyaratan sebagai berikut:
1. Ratus (dupa yg berbau harum).
2. Minyak cendana.
3. Minyak kenanga.
4. Minyak tua (minyak klenthik) yang terbuat dari santan kelapa hijau
yang melengkung ke arah timur, yang pengambilannya tidak boleh dijatuhkan ke
tanah, dan proses pembuatannya satu bulan sebelum upacara penjamasan yang di
buat oleh wanita keturunan Sunan Kalijaga yang sudah menopause (tidak haid) di
pendhopo agung.
Tim penjamas
yang akan melaksanakan penjamasan merupakan
keturunan laki-laki dari Sunan Kalijaga yang memiliki tugas masing-masing
berjumlah 7 orang, sebelum melaksanakan penjamasan di syaratkan untuk puassa
selama 3 hari mulai tanggal 8, 9, 10 Dzulhijjah. Sebelum melaksanakan
penjamasan di adakan tahlik dan do’a di makam Sunan Kalijaga, karena saat
penjamasan berlangsung mata penjamas tidak boleh melihat Kotang Onto Kusomo dan
Keris Kyai Carubuk jadi mata penjamas tertutup sampai selesai penjamasan.
Termasuk yang membawa minyak jamas dari pendhopo Kabupaten Demak merupakan
keturunan laki-laki dari Sunana Kalijaga.
Acara
Grebeg Besar Demak mempunyai urutan tata cara perayaan sebagai berikut :
1. 1. Upacara
pembukaan Grebeg Besar, di laksanakan di halaman Masjid Agung Demak yang secara
resmi dibuka oleh Bupati pada tanggal 7 Besar (Dzulhijjah).
2. Pada
tanggal 8 sampai dengan 9 Besar (Dzulhijjah) kegiatan Tabligh Akbar dan ziarah
ke makam Sultan Syah Alam Akbar (Raden Patah) dan Sunana Kalijaga.
3. Malam
tanggal 10 Dzulhijjah, takbiran dan sekaligus melaksanakan upacara “Selamatan
Tumpeng Songo” (Sembilan) dilanjutkan tahtiman Al-Qur’an Sembilan kali. Tumpeng
songo (Sembilan) yang semula berada di pendhopo Kabupaten Demak, diiring menuju
Masjid Agung Demak di kawal prajurit Patang Puluhan serta dimeriahkan Seni
Rebana.
4. Pada
tanggal 10 Dzulhijjah, jam 06.30 dilaksanakan sholat Ied Adha di Masjid Agung
Demak dan dilanjutkan pemotongan hewan kurban.
5. Upacara
paemberangkatan minyak jamas yang dilaksanakan pada jam 08.00 pagi di pendhopo
Kabupaten Demak. Kemudian diantarkan ke Kadilangu oleh Penguasa Demak atau
Bupati yang kala itu mengenakan pakaian kebesaran Sultan (Sultan Bintoro) pada
waktu naik diatas kereeta dikawal oleh prajurit Patang Puluhan (ciri khas
prajurit Kasultanan Bintoro).
6. Upacara
penjamasan Kotang Onto Kusumo dan Keris Kyai Curubuk di Makam Sunan Kalijaga di
kadilangu jam 09.00 sampai selesai.
b. Nilai-nilai yang terkandung dalam Grebeg Besar
Nilai-nilai
yang terkandung dalam Grebeg Besar antara lain adalah religi atau ibadah.
Grebeg Besar meemiliki nilai religi, sebab dalam Grebeg
Besar merupakansuatu kagiatan keagamaan yang memiliki ajaran kepercayaan,
norma-norma, aturan-aturan untuk melakukan upacara.Masyarakat percaya bahwa
ajaran-ajaran yang disampaikan oleh para Wali dari Nabi Muhammad SAW adalah
benar.Masyarakat Islam dengan sepenuh hati menjalankan ibadah dan mengamalkan
ajaran Islam dengan sepenuh hati.
Nilai kegotong-royongan terlihat pada persiapan
acara pengajian serta tumpeng Sembilan disiapkan oleh takmir masjid.Grebeg
Besar merupakan acara ritual yang penuh dengan aktivitas yang mengandung
nilai-nilai solidaritas.Dalam berbagai atraksi maupun pertunjukan yang mewarnai
acara tersebut diperlukan rasa kesetiakawanan.Sifat-sifat kesetiakawanan
tersebut merupakan sifat yang penting dan berguna dalam kehidupan
manusia.Masyarakat berbaur menjadi satu saling mengenal sehingga menambah
terjalinnya rasa solidaritas antar sesama masyarakat.
Terkait dengan pelaksanaan Grebeg Besar dapat
dilihat dari partisipasi semua pihak yang ikutmendukung acara tersebut.Nilai kepemimpinan
juga terkandung dalam acara Grebeg Besar yang terungkap melalui kegiatan yang
dipimpin oleh Bupati.Acara tersebut terselenggara dengan baik serta himbauan
dan wejangan kepada warga masyarakat merupakan suatu bentuk pencerahan
masyarakat agar dapat menjalani kehidupan kemasyarakatan dengan tentram dan
damai.Nilai tanggungjawab melibatkan pelaku ritual beserta semua warga
masyarakat yang mengikuti acara Grebeg Besar.
Nilai etika yang lain juga terlihat pada acara
ritual di Pendhopo sewaktu lurah Tamtamamengahadap Bupati untuk menerima
perintah mengantar minyak Jamas. Lurah Tamtama mengahadap Bupati dengan
berjalan jongkok.Berjalan jongkok serta menghaturkan sembah, tindakan tersebut
menunjukkan rasa hormat seorang abdi dalem kepada rajanya. Nilai etika
selanjutnya terungkap dari cara berbicara pranata cara atau pemandu acara dalam
ritual tersebut menggunakan bahasa Jawa. Para undangan yang datang saling
berjabat tangan dan saling menyapa.
Nilai estetis terlihat pula dalam rangkaian
acara Grebeg Besar.Sarana yang digunakan sebagaipendukung upacara seperti
tumpeng yang berjumlah sembilan buah, sholawatan yang dilantunkan pada saat
slametan tumpeng Songo.Iringan gamelan yang dipertunjukan di Pendhopo, tarian
Bedaya yang ditarikan oleh sembilan penari.Grebeg Besar mempunyai nilai estetis
dikarenakan dalam acara tersebut begitu banyak pertunjukan yang ditampilkan
serta sarana yang digunakan.Pertunjukkan yang ditampilkan sangat menarik
perhatian masyarakat yang menyaksikannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar